Gelombang Amarah di Kabupaten Pati, Sinyal Peringatan untuk Pejabat Daerah di Indonesia
Jawa Tengah, Lembarfakta.com – Alun-Alun Kabupaten Pati, Jawa Tengah, berubah menjadi lautan manusia pada Rabu, 13 Agustus 2025. Ribuan warga dari berbagai penjuru daerah turun ke jalan dalam aksi unjuk rasa besar-besaran, menyuarakan satu tuntutan, mundurnya Bupati Sudewo dari jabatannya.
Gelombang amarah yang memuncak ini bermula dari keputusan kontroversial sang bupati untuk menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen.
Demonstrasi yang diprakarsai Aliansi Masyarakat Pati Bersatu ini menandai puncak ketegangan sosial yang telah mengendap selama berbulan-bulan. Kontroversi itu membuat masyarakat bersiap menggelar aksi demo besar-besaran. Mereka menilai kebijakan tersebut terlalu memberatkan, apalagi dibarengi dengan pernyataan yang dianggap memancing amarah publik.
Akar Permasalahan: Kenaikan Pajak yang Mencekik
Keputusan Bupati Sudewo untuk menaikkan PBB-P2 secara drastis memicu reaksi keras masyarakat. Bupati Sudewo berdalih, kenaikan PBB-P2 dilakukan karena tarif sebelumnya tak berubah selama 14 tahun. Ia mengklaim, dana hasil pajak akan kembali ke masyarakat dalam bentuk pembangunan infrastruktur. Namun, penjelasan ini tak cukup menenangkan gejolak yang telah mengakar di masyarakat.
Ketegangan semakin memanas ketika bupati mengeluarkan pernyataan yang dinilai menantang warga. Pernyataan tersebut justru menyulut amarah publik dan memperkuat gelombang mobilisasi massa. Alih-alih meredam situasi, sikap keras kepala sang bupati justru memperluas basis dukungan untuk gerakan penolakan.
Kompleksitas Permasalahan
Kenaikan PBB bukanlah satu-satunya isu yang memicu kemarahan warga. Selain itu, sejumlah kebijakan lain seperti pemutusan hubungan kerja massal tenaga honorer RSUD dan regrouping sekolah semakin memperkeruh suasana. Rangkaian kebijakan kontroversial ini menciptakan efek domino ketidakpuasan yang bermuara pada tuntutan pergantian kepemimpinan.
Peneliti kebudayaan Jawa asal Kabupaten Pati, Sucipto Hadi Purnomo, memberikan analisis mendalam tentang situasi ini. Ia memandang, bupati menganggap dirinya seolah seorang raja yang setiap sabdanya adalah kebenaran. “Saya melihat pendekatan semiotik, membaca dalam sistem tanda, ada tanda verbal yang bisa didengar dan tanda visual yang bisa diamati atau dilihat, dari dialektika seperti jual-beli pukulan. Ia (Bupati) menafikkan seolah sumber kebenaran hanya ada pada bupati.
*Momentum Politik yang Menggelinding*
Gerakan protes di Pati tidak berlangsung dalam ruang hampa. Berbagai elemen masyarakat, termasuk organisasi mahasiswa, ikut memperkuat momentum. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Pati didesak untuk tidak bungkam dan ikut mendukung gerakan masyarakat dalam aksi masyarakat pada 13 Agustus, hari ini.
Tuntutan kepada lembaga legislatif daerah untuk berpihak pada rakyat menunjukkan bahwa krisis kepercayaan tidak hanya terjadi pada eksekutif, tetapi juga merambah ke seluruh sistem pemerintahan daerah. Ini adalah sinyal berbahaya bagi stabilitas demokrasi lokal.
Langkah Mundur yang Terlambat
Menyadari eskalasi situasi, Bupati Sudewo akhirnya angkat bicara. Dalam klarifikasinya pada Kamis (7/6/2025), Sudewo menegaskan tak pernah bermaksud memprovokasi rakyatnya. Ia mengaku ucapannya hanyalah bentuk komunikasi yang disalahartikan. Namun, permintaan maaf dan klarifikasi ini tampaknya sudah terlambat.
Momentum protes telah menggelinding terlalu kuat untuk dihentikan dengan sekadar pernyataan penyesalan. Kepercayaan publik yang telah rusak tidak mudah dipulihkan, apalagi ketika keputusan-keputusan kontroversial lainnya terus menumpuk.
Pelajaran Bagi Pejabat Daerah
Kasus Pati memberikan pelajaran berharga bagi pejabat daerah di seluruh Indonesia. Era keterbukaan informasi dan media sosial membuat setiap kebijakan publik dapat dengan cepat menyebar dan memicu reaksi massal. Komunikasi politik yang arogan dan mengabaikan aspirasi rakyat tidak lagi dapat ditolerir.
Pertama, setiap kebijakan yang berdampak langsung pada kehidupan masyarakat harus disertai dengan sosialisasi yang memadai dan dialog terbuka. Kenaikan pajak sebesar 250 persen tanpa persiapan dan penjelasan yang cukup adalah resep bagi kerusuhan sosial.
Kedua, sikap responsif terhadap kritik dan masukan masyarakat menjadi kunci penting dalam menjaga legitimasi kepemimpinan. Ketika bupati memilih untuk menantang dan meremehkan protes warga, ia justru mengundang eskalasi konflik.
Ketiga, transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan dana publik harus menjadi prioritas utama. Janji bahwa peningkatan pajak akan kembali kepada masyarakat melalui pembangunan harus disertai dengan mekanisme pengawasan yang jelas dan terbuka.
Implikasi Nasional
Gelombang amarah di Pati bukan fenomena terisolasi. Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai daerah di Indonesia mengalami gejolak serupa akibat kebijakan kepala daerah yang tidak populer. Hal ini menunjukkan perlunya evaluasi mendalam terhadap sistem check and balance di tingkat pemerintahan daerah.
Pemerintah pusat dan partai politik perlu mengambil pelajaran dari kasus ini. Sistem kaderisasi dan seleksi calon kepala daerah harus diperkuat agar tidak menghasilkan pemimpin yang arogan dan tidak sensitif terhadap aspirasi rakyat.
Tekanan politik yang menguat dari berbagai kalangan, ditambah dengan hilangnya dukungan publik, menempatkannya dalam posisi yang sangat sulit.
Kasus Pati harus menjadi momentum refleksi bagi seluruh pejabat daerah di Indonesia. Kepemimpinan di era demokratis membutuhkan kehati-hatian, empati, dan keterbukaan terhadap dialog. Arogansi dan sikap otoriter tidak lagi memiliki tempat dalam sistem pemerintahan yang modern dan demokratis.
Gelombang amarah di Pati adalah peringatan keras bahwa rakyat tidak akan lagi diam menghadapi kepemimpinan yang sewenang-wenang. Ini adalah ujian bagi kedewasaan demokrasi lokal Indonesia dan sinyal penting bagi semua pejabat daerah untuk merenungkan kembali cara mereka memimpin dan melayani rakyat. (fr)