Apakah Kepala Daerah Bisa Dilengserkan Oleh Rakyat?
Dalam dinamika demokrasi Indonesia, pertanyaan tentang akuntabilitas kepala daerah kepada rakyat menjadi semakin relevan. Seiring dengan semakin kuatnya kesadaran politik masyarakat, muncul pertanyaan mendasar: apakah rakyat memiliki mekanisme untuk melengserkan kepala daerah yang dinilai tidak memenuhi harapan atau bahkan melanggar amanah yang diberikan?
Pertanyaan ini bukan sekadar wacana akademis, melainkan refleksi dari realitas politik di berbagai daerah di Indonesia.
Fenomena protes massal, tuntutan mundur kepala daerah, hingga gerakan recall yang sporadis muncul di beberapa wilayah menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi bersifat pasif dalam menghadapi kepemimpinan yang dianggap mengecewakan.
Keterbatasan Mekanisme Hukum.
Secara yuridis, Indonesia tidak memiliki mekanisme recall atau pemakzulan kepala daerah oleh rakyat secara langsung. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah hanya mengatur pemberhentian kepala daerah melalui mekanisme yang sangat terbatas: pemberhentian karena berakhirnya masa jabatan, meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan oleh presiden atas usulan menteri dalam negeri karena melanggar ketentuan hukum.
Mekanisme pemberhentian karena pelanggaran hukum pun memiliki syarat yang ketat dan prosedur yang panjang. Kepala daerah baru dapat diberhentikan jika terbukti melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun, atau melanggar sumpah/janji jabatan.
Keterbatasan ini menciptakan gap antara harapan demokrasi partisipatif dengan realitas mekanisme hukum yang ada. Rakyat yang telah memberikan mandat melalui pemilihan langsung tidak memiliki instrumen formal untuk menarik kembali mandat tersebut ketika kepala daerah dinilai gagal menjalankan tugasnya.
Kontestasi Antara Stabilitas dan Akuntabilitas.
Absennya mekanisme recall dalam sistem ketatanegaraan Indonesia bukanlah tanpa alasan. Para perancang sistem ini tampaknya lebih memprioritaskan stabilitas pemerintahan ketimbang fleksibilitas pergantian kepemimpinan. Argumen yang mendasarinya adalah bahwa masa jabatan yang tetap memberikan kepastian bagi kepala daerah untuk melaksanakan program-programnya tanpa terganggu oleh gejolak politik jangka pendek.
Namun, di sisi lain, stabilitas yang berlebihan dapat berujung pada complacency atau bahkan penyalahgunaan kekuasaan. Tanpa adanya tekanan riil dari mekanisme pertanggungjawaban yang efektif, kepala daerah dapat kehilangan sensitivitas terhadap aspirasi rakyat yang telah memilihnya.
Dilema ini semakin kompleks ketika mempertimbangkan karakter politik lokal Indonesia yang seringkali masih kental dengan praktik patronase dan politik identitas. Mekanisme recall yang terlalu mudah justru berpotensi disalahgunakan oleh kelompok-kelompok kepentingan tertentu untuk destabilisasi politik.
Pembelajaran dari Praktik Internasional.
Beberapa negara menerapkan mekanisme recall untuk pejabat publik, termasuk kepala pemerintahan di tingkat lokal. California di Amerika Serikat, misalnya, memiliki tradisi recall yang cukup aktif. Gubernur Gray Davis berhasil di-recall pada tahun 2003, dan Governor Gavin Newsom sempat menghadapi upaya recall pada tahun 2021 meski akhirnya gagal.
Pengalaman internasional menunjukkan bahwa mekanisme recall dapat berfungsi sebagai check and balance yang efektif, namun juga rentan terhadap politisasi berlebihan. Syarat-syarat yang terlalu mudah dapat menghasilkan instabilitas politik, sementara syarat yang terlalu ketat dapat membuat mekanisme ini menjadi tidak bermakna.
Alternatif Mekanisme Akuntabilitas.
Meski tidak ada mekanisme recall formal, rakyat Indonesia sebenarnya memiliki berbagai cara untuk meminta pertanggungjawaban kepala daerah. Mekanisme pengawasan melalui DPRD, meski tidak sempurna, tetap dapat berfungsi sebagai channel aspirasi rakyat. Begitu pula dengan peran media massa dan civil society organizations dalam mengontrol kinerja pemerintah daerah.
Tekanan politik dan moral melalui demonstrasi, petisi, dan kampanye publik juga terbukti dapat mempengaruhi kebijakan kepala daerah, bahkan dalam beberapa kasus mendorong mereka untuk mengundurkan diri secara sukarela.
Yang tidak kalah penting adalah mekanisme pemilihan berkala setiap lima tahun yang memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengevaluasi kinerja petahana dan memutuskan apakah akan memberikan periode kedua atau menggantinya dengan pemimpin baru.
Menuju Demokrasi yang Lebih Responsif.
Perdebatan tentang mekanisme recall kepala daerah sesungguhnya mencerminkan keinginan untuk memiliki demokrasi yang lebih responsif dan akuntabel. Meski Indonesia belum memiliki instrumen formal untuk hal ini, upaya-upaya peningkatan akuntabilitas tetap dapat dilakukan melalui penguatan institusi pengawasan, peningkatan transparansi pemerintahan, dan pemberdayaan partisipasi publik.
Ke depan, diskusi tentang kemungkinan mekanisme recall perlu dilakukan secara lebih serius dengan mempertimbangkan berbagai aspek: efektivitas, stabilitas politik, dan potensi penyalahgunaan. Yang pasti, sistem demokrasi Indonesia perlu terus berkembang untuk mengakomodasi aspirasi rakyat akan pemerintahan yang lebih akuntabel dan responsif.
Pada akhirnya, kekuatan sejati demokrasi tidak hanya terletak pada mekanisme formal yang tersedia, tetapi juga pada kesadaran politik rakyat dan komitmen para pemimpin untuk selalu mendengarkan suara rakyat yang telah memberikan amanah kepada mereka. Tanpa kedua elemen ini, mekanisme formal apa pun akan kehilangan maknanya dalam mewujudkan pemerintahan yang benar-benar dari, oleh, dan untuk rakyat.
Penulis : A. Faisal