Ruang Kelas Berdinding Seng Bekas, Saksi Ketimpangan Pendidikan di Kalteng

Di dalam ruang kelas berukuran 6x8 meter dengan dinding seng bekas, puluhan siswa kelas 5 SDN-1 Tumbang Lampahung Baru masih bertahan mengikuti pelajaran.

Gunung Mas, Lembarfakta.com – Pukul 10.00 WIB matahari mulai menyengat keras. Di dalam ruang kelas berukuran 6×8 meter dengan dinding seng bekas, puluhan siswa kelas 5 SDN-1 Tumbang Lampahung Baru masih bertahan mengikuti pelajaran. Keringat membasahi seragam mereka yang sudah lusuh.

Sesekali, Friskila Kepala SDN-1 Tumbang Lampahung melirik ke arah ruang darurat itu dengan pandangan prihatin. Bangunan sederhana berlantai cor beton kasar tersebut bukanlah hasil program pemerintah, melainkan buah gotong royong masyarakat yang lelah menunggu perhatian negara.

“Kami tidak bisa menunggu terus. Pendidikan anak-anak tidak bisa ditunda,” ujar Friskila, Jum’at (9/8/2025).

Cerita dimulai dari rapat darurat antara guru, orang tua, dan komite sekolah beberapa bulan lalu. SDN-1 Tumbang Lampahung yang terletak 25 kilometer dari pusat Kabupaten Gunung Mas ini menghadapi krisis ruang belajar. Ratusan siswa dari kelas titipan hingga kelas 6 tidak lagi tertampung dengan layak.

Bahkan, ruang kantor guru terpaksa disulap menjadi ruang kelas. Kondisi ini memaksa sekolah mengambil langkah darurat: membangun ruang kelas swadaya.

Selama seminggu, seluruh elemen masyarakat bergotong royong. Para guru menyumbang sebagian gaji mereka, orang tua murid mengumpulkan dana seadanya, sementara yang lain menyumbangkan tenaga. Hasilnya, sebuah ruang kelas darurat dengan dinding seng bekas yang kini menjadi tempat belajar puluhan anak.

Penerapan sistem fullday school hingga pukul 13.00 semakin memperparah kondisi. Di dalam ruang berdinding seng itu, suhu udara mencapai titik yang hampir tak tertahankan.

“Kadang guru harus menghentikan pelajaran karena anak-anak sudah tidak tahan panas,” cerita salah satu tenaga pendidik di sekolah tersebut.

Ironi ini terasa semakin menyakitkan ketika menyadari bahwa sekolah ini hanya berjarak 25 kilometer dari ibukota kabupaten, di mana fasilitas pendidikan relatif memadai. Pertanyaannya: mengapa kesenjangan ini masih menganga lebar?

Friskila mengaku telah berulang kali mengajukan usulan ke Dinas Pendidikan dan pemerintah daerah untuk pembangunan ruang kelas permanen. Minimal tiga ruang kelas baru dibutuhkan untuk menampung ratusan siswa dengan layak.

Namun, hingga kini bantuan tersebut belum kunjung terealisasi. Kondisi ini memaksa pihak sekolah mengambil inisiatif mandiri demi keberlangsungan pendidikan.

“Kami tidak minta fasilitas mewah. Kami hanya ingin ruang kelas yang layak, dengan ventilasi yang baik, sehingga anak-anak bisa belajar dengan nyaman,” tutur Friskila dengan nada berharap.

Realitas di SDN-1 Tumbang Lampahung menjadi potret buram ketimpangan pendidikan di Indonesia. Di tengah gencarnya narasi pembangunan infrastruktur dan cita-cita generasi emas 2045, masih ada anak-anak yang harus berjuang mendapatkan hak dasar mereka: pendidikan yang layak.

Bagaimana mungkin berbicara tentang bonus demografi ketika masih ada siswa yang harus bertarung melawan panasnya dinding seng hanya untuk menimba ilmu?

Kisah perjuangan SDN-1 Tumbang Lampahung seharusnya menjadi cambuk bagi para pengambil kebijakan. Sebab, di balik dinding seng bekas itu, tersimpan mimpi-mimpi besar anak-anak Indonesia yang layak diwujudkan. (fr)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *